Untuk kesekian kalinya...
Akhir pekan yang tak
jarang berujung membosankan sering kuhabiskan dengan mengunjungi Toko Buku,
baik untuk membaca maupun hanya sekedar melihat-lihat koleksi terbaru. Kali ini
aku tidak datang sendiri, tapi bersama seorang teman yang baru ku kenal tiga bulan
yang lalu. Aku tidak mempunyai banyak teman disini, karena teman-teman
sekolahku kebanyakan melanjutkan studi di pulau seberang. Dan Luna adalah teman
terdekatku saat ini. Aku masih melanjutkan novel bacaanku yang belum selesai
minggu kemarin, saat Luna berseru bahwa Ia ingin melihat-lihat dahulu.
Konsentrasi penuh pada bacaan membuatku tidak memperhatikan sekitar, 30 menit
berlalu dan bacaanku telah selesai – Luna masih belum juga kelihatan batang
hidungnya. Aku beranjak dari tempat dudukku, hendak mengembalikan novel itu
pada tempatnya semula, kemudian berkeliling untuk mencari Luna. Belum lama aku
berangkat dari tempat dudukku, seseorang memanggilku, aku berhenti sejenak
sebelum membalikkan badan, memastikan bahwa panggilan itu benar ditujukan
padaku.
“Puja”. Suara yang
tidak asing didengar telingaku, memanggil untuk yang kedua kali. Aku
membalikkan badan.
“Astaga, kamu
benar-benar Puja. Aku kira aku salah orang, aku sudah lama cari kamu ja. Gila
kali kamu ja, menghilang tanpa jejak sosmed di non aktifkan semua. Ga rindu apa
kamu sama aku ?” Orang itu berpanjang lebar.
Aku menghela nafas
sejenak sebelum menjawab pertanyaan nya.
“Oh, kebetulan
handphone aku rusak. Jadi aku ga bisa hubungi kalian. Aku fikir kamu ikut Dody
ke Jogja rupanya kita malah dipertemukan lagi di kota ini.” Jawabku sambil
berjalan mengembalikan novel.
“Hahaa, dari awal aku
memang ga tertarik ke luar Kalimantan ja, aku ambil jurusan Arsitektur disini.
Akreditasinya ga kalah sama di Pulau seberang jadi ngapain harus jauh-jauh.
Kamu kuliah apa ja ? Ga pernah cerita dulu mau ngambil apa.”
Pertanyannya sedikit
tidak ku hiraukan karena sibuk mencari keberadaan Luna. Satu menit lamaya aku
mengabaikan pertanyaan teman lama itu,kemudian menyapa Luna yang ternyata juga
sibuk mencariku sejak tadi.
“Hey Lun, aku disini.”
“Oalah Puja, aku sudah
berkeliling mencarimu. Yuk pulang, sepertinya mau hujan.”Luna menarik lenganku.
Aku mengangguk, dan
kemudian pamit kepada teman lama itu.
“Rom, aku pulang dulu
mungkin lain waktu kita bisa ngobrol banyak.”
“Pin mu ja.” Ia
menyodorkan smartphone nya
Aku langsung pergi
pulang bersama Luna setelah memberikan pin BB ku padanya.
Belum lama aku
membujurkan badanku di kasur empuknya Luna, smartphone ku berbunyi. Sebuah nama
tertera di layar “Romeo Putra Adinata
would like to add you to his BlackBerry Messenger contact list” Aku
memejamkan mata sambil menekan tombol “accept”.
Luna yang sejak tadi
penasaran dengan tingkah anehku akhirnya angkat bicara.
“Tadi yang di toko buku
siapa ja ? Sepertinya sudah kenal lama.”
Aku hanya menjawab
singkat “Iya, dia teman lama.”
Dia lebih dari sekedar
teman lama, bahkan separuh hidupku yang lama. Gumamku dalam hati.
“Sepertinya ada yang
kamu sembunyikan ja, kamu aneh setelah bertemu orang itu. Eh tapi ganteng juga
lo ja, lain kali kamu kenalin ke aku ya hahaha.” Tawa Luna pecah seketika.
Aku hanya menanggapi
gurauan Luna dengan jawaban singkat. “Namanya Romeo, dia teman SMA ku dulu.”
Luna semakin penasaran
dengan tingkah anehku yang tidak terlalu menggubris soal keingintahuannya
tentang Romeo. “ Cieee, tampaknya ada yang mengingat masa lalu nih, ada apa sih
ja ? Biasanya kamu selalu bersemangat bercerita tentang teman-teman lamamu.”
Luna menggodaku yang sejak tadi sibuk mengotak-ngatik smartphone. “Emm aku
hanya sedang tidak berselera untuk bercerita hari ini, apalagi meladeni wajah
jomblomu yang luar biasa keponya itu Lun kalau sudah berhubungan dengan cowok
ganteng hahahaa.” Tawaku pecah setelah berhasil membuat jengkel Luna dengan jawaban ejekanku. Luna
melemparkan boneka sapinya ke arahku, aku hanya tertawa dan balas melempar.
Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di kamar kost ku yang berseblahan
dengan kamar Luna.
*
Ujian akhir perdana di
tahun pertama kuliahku, sepertinya tidak membuatku terlalu bersemangat menghadapinya. Masih
seperti biasa, selalu santai menghadapi ujian – meskipun begitu bukan berarti
tidak mempunyai persiapan. Belajar pada waktu dini hari merupakan salah satu
kebiaasanku dalam menghadapi ujian. Belum sampai sepuluh menit aku menemukan
konsentrasi untuk memahami materi-materi Hukum Pidana yang akan di ujiankan
besok, benda sialan itu menggangu konsentrasiku karena sejak tadi berbunyi dan
bergetar – menandakan ada orang yang menghubungiku lewat BalckBerry Messenger.
Aku bergumam sendiri, siapa pula yang menghubungiku pukul tiga dini hari ?
Padahal aku sama sekali tidak memberikan petunjuk kalau aku sudah bangun sepagi
ini. Karena penasaran, langsung ku ambil smarthphone ku, membuka pesannya, dan
betapa terkejutnya aku.
Romeo Putra
PING!!!
PING!!!
PING!!!
PING!!!
PING!!!
Selamat ujian puja, aku
tau kamu sudah bangun sepagi ini untuk belajar
Ohh ya, aku pengen
ngobrol nih kapan bisa jalan bareng ???
Seketika semangatku
luntur. Aku terdiam sejenak, mengumpulkan niat untuk membalas BBM Romeo.
Akhirnya atas nama persahabatan, aku berusaha untuk bersikap biasa saja, meski
sebenarnya ini jelas menghancurkan tekadku berkeping-keping.
Dewi Puja
Thanks yaa Rom ,
rupanya Meo masih inget juga kebiasaan Pujaa. Ntar sore puja free kok habis
ujian.
Tidak sampai lima menit,
BBm Meo sudah masuk.
Romeo Putra
Haha mana mungkin lupa
sih, kita kenal udah berapa lama ? Ehh nonton yukk, ntar aku yang traktir deh,
rindu banget sama Puja hehehe
Aku hanya bisa diam,
kemudian bingung, tidak tau harus berbuat apa. Rasa bahagia bercampur dengan
rasa pesimis mengahantuiku saat ini. Bahagia karena bisa akrab lagi dengan
Romeo, dan pesimis takut kalau semua itu terulang kembali. Sekitar dua puluh
menit menimbang-nimbang akhirnya aku menerima ajakan Romeo
Dewi Puja
Oh boleh, besok kamu jemput
aku di kampus aja yaa. Di Fakultas Hukum hehee
Akhirnya, Romeo
berhasil menggagalkan misi belajarku pagi ini. Sekaligus berhasil mengancurkan “move on” ku yang sejak awal memang
susah payah ku lakukan.
*
Rintik hujan yang jatuh
menimpa genteng masih terdengar samar dari pendengaranku, diikuti pula dengan
suara riyuh jangkrik-jangkrik yang sedang bersenda gurau meramaikan malam.
Pukul 00.41 menit, mataku masih enggan berdamai dengan keharusannya untuk mengatup.
Ini adalah pertama kalinya aku kembali susah tidur setelah berada di rumah dan
kamar tercinta ini. Entah mengapa otakku enggan berhenti untuk memikirkan sosok
manusia yang memang ku akui ataupun tidak, adalah bagian dari hidupku. Beberapa
hari ini pertanyaan itu kembali menghantuiku, tiga tahun yang lalu tidaklah
berbeda dengan sekarang, masih sama, seribu kali masih sama. Sejak acara nonton
bareng sore itu, aku dan Romeo kembali seperti dulu. Sore itu bagaikan sebuah
acara nostalgia yang kemudian mengembalikan semuanya persis sama dengan keadaan
semula. Tak ubahnya dengan perasaan itu. Aku kembali membiarkannya menjadi
bagian dari hidupku. Dulu, dengan polosnya aku membuka pintu hatiku untuk
seorang pria. Sejak aku mengenal lawan jenis, pandangan pertama di parkiran
sekolah itu lah yang kemudian membuat hari-hariku berwarna. Waktu itu parkiran
penuh, dan tubuh kecilku tidak mampu menahan keseimbangan saat ingin
mengeluarkan sepeda motor dari selasar parkiran yang sesak dan penuh. Romeo
yang kebetulan juga ingin mengeluarkan motornya, menolongku yang sudah tertimpa
motor. Itu adalah awal perkenalan kami di hari pertama masuk sekolah. Selang
satu minggu setelah Masa Orientasi Siswa, kebetulan itu terjadi lagi – aku dan
Romeo ternyata satu kelas. Sejak saat itu, aku menjadi teman baiknya. Kita
sering menghabiskan waktu bersama, mengikuti ekstrakurikuler yang sama, les di
tempat yang sama, semuanya dilalui bersama-sama. Setahun bersama sedekat itu,
baru membuat ku sadar bahwa apa yang kurasakan pada Meo bukanlah perasaan
biasa. Terkadang aku bisa terlihat cemburu saat dia bercanda dengan perempuan lain, terkadang juga ada perasaan
bahagia yang luar biasa ketika Meo berhasil meraih apa yang diimpikannya.
Bahkan jika ia hanya tertawa lepas karena berhasil mengejekku habis-habisan pun
aku bisa merasakan kebahagiaannya. Tahun kedua pun berlalu, aku semakin yakin
dengan apa yang aku raskan pada Meo. Sementara Meo masih belum menunjukkan
kejelasan mengenai kedekatan kami. Apakah persahabatan kami terlalu dekat ?
Atau semua rasa yang dilalui bersama itu kemudian hanya berarti persahabatan ?
Tidak bisa lebih ? Entahlah yang jelas aku mulai gerah menyimpan semua rasa
yang mulai mengganggu konsentrasiku pada Ujian Nasional yang tinggal beberapa
bulan lagi. Akhirnya aku mengumpulkan seribu keyakinan yang memberikanku
keberanian untuk menyatakan apa yang aku rasakan selama ini pada Meo. Hari itu
adalah ulang tahun Meo, moment yang pas untuk memperjelas semua yang samar
selama ini.
Hari itu, 23 Oktober.
Hujan masih membasahi jalanan kota Sintang yang berdebu. Aku masih menunggu
Romeo yang berjanji menemuiku di koridor utama sekolah. Dengan satu buah
cupcake berukuran sedang dan lilin angka 17 diatasnya, juga korek gas yang
sudah aku siapkan di saku rok abu-abuku. Ku fikir ini akan menjadi sebuah
perayaan sederhana yang berkesan untuk Meo. 30 menit berlalu, akhirnya Meo
datang menghampiriku dengan napas yang tersengal karena sedikit berlalari. Aku
langsung menghidupkan lilin dan memberikan cupcake itu pada Meo.
“Selamat Ulang Tahun
Romeo, semoga makan-makan.”
Romeo bersemangat
meniup lilin dari cupcake yang masih kupegang.
“Terimakasih yaa Puja bawel, cerewet, jelek.
Tapi do’a nya itu lo, haduhhh.” Romeo mencubit pipi tembem ku.
Aku hanya tertawa kecil.”
Jadi kita makan dimana ?”
“Soal makan itu
gampang, kamu mau makan apapun aku traktir deh, adayang lebih penting dibanding
itu.”
“Ahh seriusan nih ?
Apaan yang lebih penting ?” Tanyaku tak percaya sekaligus ingin tahu.
Sambil mengenakan jaket
hitam berbahan parasut yang sejak tadi menggantung di bahunya, Romeo
menjelaskan.
“Temenin aku cari
boneka ya, malu dong aku pergi ke toko boneka. Lagian aku ga tau cewek sukanya
boneka yang kaya gimana.”
Aku yang sejak tadi
sibuk dengan permen karet di mulutku, berhenti mengunyah.
“Kamu mau cariin boneka
buat siapa?” Tanyaku penasaran.
Romeo tersenyum begitu
bahagia. Namun dalam senyum manis yang selalu menyejukkan hati itu, kali ini
terasa ada yang berbeda. Ada sebuah guncangan hebat yang meruntuhkan keyakinan
hatiku sebelumnya.
“Buat seseorang yang
sangat special dalam hidup aku.”
Kali ini bukan hanya
keyakinanku yang runtuh tetapi juga harapan yang hancur berkeping-keping.
Sejak saat itu aku
memutuskan untuk mengubur dalam-dalam perasaan gila itu. Sejak kejadian itu
pula, kedekatan aku dan Meo jelas berubah. Meo banyak mengahbiskan waktunya
bersama Rini – pacar barunya yang juga teman sebangku ku. Berberapa minggu
menjelang Ujian Nasional aku benar-benar berada dalam keadaan terpuruk. Begitu
besar akibat dari patah hatiku kali ini, mungkin sebesar cinta yang harus ku
kubur dalam-dalam pada Meo. Aku bukan Puja yang selalu ceria seperti biasanya,
belajar efektifku terganggu dan semakin sedikit hari yang tersisa di sekolah
semakin membuatku enggan untuk pergi ke sekolah. Sebenarnya aku sengaja
menjauhi Meo, dia sendiri sudah berusaha untuk menghubungiku, tapi rasa sesal
becampur rasa sakit hati yang tidak bisa ku kendalikan membuat aku memilih
untuk tidak berhubungan dengan Meo. Aku kecewa, seharusnya kalau Meo
menganggapku sahabatnya, ia pasti menceritakan tentang Rini. Dan Rini juga
tidak pernah berkeluh kalau dia menyukai sahabatku sendiri. Entahlah sepertinya
mereka sengaja menjebakku dengan perasaan dan keadaan yang seolah mendukungku
selama ini.
Dan sekarang, setelah
aku cukup berhasil untuk melupakan semua harapan besar itu dengan gampangnya
kemudian Meo masuk lagi dalam kehidupanku. Entah apa maksud dari ini semua,
akankah ini semua hanya pelarian tanpa ujung ?
Aku menyeka air mata
yang ternyata sudah mengalir sejak tadi, membasahi bantal yang kupakai.
Pikiranku benar-benar sesak oleh kenangan. Kepalaku benar-benar penuh dengan
pertanyaan. Dan hatiku benar-benar utuh dengan harapan. Harapan yang dulu
sempat ku padamkan, kini menyala secara perlahan seiring dengan
kedekatan-kedekatan yang tidak biasa. Yaaa aku masih mencintainya.
*
“Pitt...pittttt”
Suara klakson mobil
Romeo, menandakan bahwa Ia telah datang menjemputku. Aku bergegas meraih tas,
sepatu dan kemudian mengunci rumah kontrakan baruku karena teman satu
kontrakanku juga tidak berada di rumah sejak tadi. Hari ini Romeo mengajakku
makan malam, katanya ada yang ingin dibicarakan. Kebetulan, aku juga sudah
membulatkan tekad untuk menyampaikan perasaanku pada Meo. Karena tahun ini
adalah tahun ketiga kuliahku, dan aku ingin berkonsentrasi untuk menyusun
skripsi jadi aku memutuskan untuk memperjelas hubungan ini pada Meo. Aku
memutuskan untuk berterus terang. Perihal tanggapan dan jawaban Meo itu urusan
belakangan. Yang penting aku tidak dihantui lagi oleh perasaan ini.
Mobil Meo melaju
melewati jalanan kota Pontianak yang lengang. Pukul 20.00 WIB, belum terlalu
malam, tapi dikarenakan malam ini turun hujan, aktifitas masyarakat kota
Pontianak tidak terlihat ramai di jalanan. Kami menuju ke arah Selatan kota,
singgah di sebuah Rumah Makan Seafood. Selama
perjalanan aku memilih diam memperhatikan rintik hujan lewat kaca mobil Meo,
sementara Meo sibuk mengendarai mobil. Suasana malam ini terasa begitu dingin,
sama dengan cuaca diluar. Aku dan Meo terlanjur sibuk dengan pikiran
masing-masing mungkin juga saling menerka dan menganalisa.
Akhirnya setelah
memesan makanan, Meo memulai pembicaraan. Sepertinya suasana hatinya pun sedang
tidak enak malam ini. Tidak biasanya Ia hanya diam dan menyerahkan pilihan
makanan itu padaku, biasanya Ia selalu cerewet soal makan.
“Puja, aku mau jujur.”
Meo memperbaiki duduknya.
Aku masih diam melongo,
menikmati dingin nya cuaca setelah hujan. Sedikit tidak berselera menanggapi
pembicaraan Meo namun tetap mengangguk tanda bersedia mendengarkan.
“Kita dekat udah lama,
kemana-mana sama-sama. Segalanya kamu tau tentang aku, kebiasaan aku, bahkan
kamu tau gimana caranya menghadapi sifat burukku.”
Pengakuan itu berhenti,
karena pesanan kami datang. Lima menit setelah pelayan itu beranjak dari meja
kami, Meo masih belum melanjutkan penjelasannya. Sementara aku masih menunggu
dengan penasaran. Apakah Romeo yang akan menyampaikan perasaannya terlebih
dahulu ? Apakah dia telah sadar ?
“Sebagai sahabat aku
kamu harus tau ini, aku baru sebulan yang lalu pacaran dengannya tapi aku udah
ngerasa cocok dan aku pengen tunangan.” Meo terlihat susah payah menyusun
kalimat penjelasannya.
Seketika kau merasakan kehancuran
yang kedua kalinya, kali ini lebih hancur dari 4 tahun yang lalu. Aku tidak
sanggup lagi membendung air mataku yang saat ini sudah mengalir deras tanpa
memperdulikan Meo yang mungkin saja bingung dengan tangisanku.
“Kita tetap bisa pergi
bareng kok, besok aku kenalin kamu sama dia. Dia orangnya asyik kok, kamu
jangan khawatir.” Meo mendekatkan kursinya ke arahku.
“Kenapa kamu ga pernah
mau cerita kalau lagi deket sama cewek ? Kenapa aku taunya setelah kamu jadian
bahkan sekarang mau tunangan ?”
“Aku ga mau kamu kayak
dulu lagi, menghindar dari aku setelah tau aku punya pacar. Kamu temen yang
baik ja, aku ga mau kehilangan sahabat seperti kamu.” Romeo meyakinkanku.
Tangisku semakin pecah
setelah mendengar pengakuan Romeo barusan. Apa ? Dia tidak mau kehilanganku ?
Apa dia tidak pernah berfikir tentang perasaanku ? Aku membatin sendiri. Mengumpat
orang di hadapanku ini dalam hati.
“Kamu ga pernah
berfikir tentang perasaanku ? Tentang kedekatan kita ? Hei, aku bahkan lupa
kita tidak pernah membicarakan perasaan selama ini.”
“Kedekatan ? Apa yang
kamu maksud ? Kita bersahabat baik selama ini, apa kau menganggapnya lebih ?”
Romeo menatapku tajam.
Aku semakin hancur. Oh
Tuhan, bahkan Ia tidak pernah mengira aku akan suka padanya. Dia baru
menyadarinya, benar-benar lelaki yang bodoh. Ah bukan, akulah perempuan bodoh.
Aku menarik nafas
panjang.
“Baik, sejak awal
memang aku yang salah. Memang aku yang tidak tau diri, seharusnya aku sadar
sejak dulu bahwa hubungan kita ini hanya teman dan tidak akan mungkin lebih.
Seharusnya sejak awal aku sudah menyederhanakn perasaanku, tidak membiarkannya
mengendalikanku membawaku sejauh ini. Kau bahkan baru menyadarinya malam ini”
Romeo menatapku iba,
mendekatkan kursinya disampingku dan kemudian membiarkan aku menangis di
pelukannya. Sudah jelas semua yang ku katakan, aku pun tak sanggup lagi
melanjutkan semuanya. Hanya bisa menangis, menumpahkan perasaanku di pelukan
orang yang selalu menjadi penyemangat hidupku tapi untuk kesekiankalinya juga
membuat harapanku padam, gelap gulita taku ubahnya seperti saat ini.
“Puja, kenapa kamu ga
pernah bilang dari dulu ? Aku bahkan telah terlanjur menganggap semuanya biasa,
terlanjur nyaman dengan keadaan kita yang seperti ini. Tak ingin berubah.”
“Aku memang egois,
tidak pernah mau kehilangan kamu tapi juga sibuk mencari cinta yang lain.
Entahlah Puja, sampai sejauh ini aku pun sebenarnya tidak pernah cukup mengerti
tentang hubungan kita selama ini. Mungkin persahabatan ini terlalu indah,
sehingga aku tidak rela menukarnya dengan cinta yang aku sendiri belum
menemukannya secara utuh. Aku masih mencarinya.” Romeo melepaskan pelukannya.
Akhirnya malam itu
berlalu dengan dingin, setelah percakapan itu Romeo mengantarku pulang. Tidak
ada percakapan sama sekali selama di mobil, hanya tatapan dingin penuh makna
dari Meo yang mengantarku masuk ke dalam kontrakan. Sejak malam itu, kami
memutuskan untuk tidak bertemu. Untuk terakhir kalinya juga, aku mencoba untuk
melupakan perasaan hebat itu. Setidaknya pun aku sudah lega karena telah menyampaikannya
pada Meo, dan sekarang aku bisa fokus dengan skripsiku.
*
Setahun berlalu begitu
cepat, secepat harapan-harapan itu sirna ditelan kesibukan dan konsentrasi pada
skripsi yang diawali dengan niat sepenuhnya untuk melupakan perasaan pada Meo.
Mungkin aku berhasil mengurangi perasaan itu, setidaknya dengan tidak pernah
berhubungan dekat lagi bisa mempermudah semua langkahku. Meski tidak
kupungkiri, masih ada perasaan sesak yang menyelinap bahkan ketika hanya
melihat punggung Meo dari kejauhan. Pemilik badan proposional itu, bagaimana
mungkin aku melupakan nyamannya berada di dekatnya, bagaimana mungkin aku
melupakan suara beratnya yang selalu menenangkan setiap suasana ?
Hari ini kuharap
menjadi akhir dari semua perjuanganku melawan perasaan bodoh ini. Menjadi awal
untuk memulai hidup baru, dengan harapan - harapan dan cinta yang baru.
Melupakan masa lalu, melangkah pasti kedepan. Sudah cukup lelah bertahun-tahun
bermain dengan harapan, menerka-nerka penjelasan. Sudah saatnya semua penantian
percuma ini dibayar dengan satu hal yang lebih pasti. Cinta yang baru, meski belum
terlihat tapi janji itu nyata dan aku hanya perlu mempercayainya.
Aku melangkah mantap
memasuki gedung auditorium Universitas Tanjungpura yang sudah ramai dipenuhi
peserta wisuda dari 9 Fakultas yang ada. Juga di padati oleh para anggota
keluarga, sanak saudara yang ikut menyaksikan prosesi sakral yang menjadi kebanggan
para orang tua. Tidak luput juga, para pedagang makanan dan minuman juga
penjual bunga dan pernak-pernik lainnya yang semakin membuat sesak gedung itu.
Setelah beberapa jam melalui proses, akhirnya acara sakral itu berakhrir. Aku
menghembuskan nafas lega. Akhirnya hatiku benar-benar damai sekarang, aku bisa
melanjutkan hidupku dengan harapan yang lebih baik.
Ditengah sesak penuhnya
auditorium ini, pandanganku tertuju pada sebuah meja di pojok tenda biru yang
menjual berbagai makanan itu. Dua orang yang sangat aku sayang sudah menunggu
disana. Aku sudah tidak sabar menemui mereka. Namun langkahku terhenti ketika
menyadari orang yang duduk dan sedang berbincang dengan orangtuaku itu adalah orang
yang sangat ku kenal dekat selama ini. Ah hatiku tiba-tiba bergetar, langkahku
mendadak gontai. Berharap tidak ada hal menyakitkan yang akan merusak
kebahagiaanku hari ini. Secara perlahan aku mendekati mereka.
Belum sempat aku
memeluk kedua orangtuaku untuk melampiaskan rasa bahagia dan ucapan teriakasih
atas dukungan mereka. Orang yang duduk bersama kedua orangtuaku tadi langsung
beranjak dari tempat duduknya dan memelukku erat. Aku seketika menangis,
perasaanku tidak karuan , apa maksud semua ini ? Kenapa dia muncul lagi ?
Bukankah hari ini aku sudah memutuskan untuk melupakannya selamanya ? Oh Tuhan,
kenapa tak pernah kau restui aku untuk melupakannya ?
“Aku sudah menemukan
cinta itu. Tolong jangan tinggalkan aku, tetap jadi temanku Puja. Teman hidupku
selamanya.”
Oh Tuhan, untuk
kesekian kalinya bentengku runtuh. Semoga kelak Kau tidak memaksaku membangun
benteng itu lagi.
***
Komentar
Posting Komentar