Suara Dari Papua
Untuk menyuarakan sebuah keadaan memang tidak harus melulu melalui aksi di jalanan dan orasi di bundaran. Semakin berkembangnya zaman, cara untuk menyuarakan ketidakadilan pun sebuah keadaan yang patut untuk diperhatikan juga ikut berkembang.
Mengutip yang dikatakan oleh personil Band Las! "Lakukanlah perubahan dengan cara sexy yang kamu sukai." salah satunya barangkali adalah melalui sebuah film. Selain musik dan juga sastra, film-film dokumenter seringkali juga dijadikan sebagai media untuk menyuarakan sebuah keadaan.
Foto di atas adalah satu diantaranya. Papuan Voice adalah kumpulan beberapa film pendek (dokumenter) yang menyuarakan beberapa permasalahan ataupun keadaan yang terjadi di Papua.
Dibuat oleh Engage Media, Papuan Voice berisi 9 film pendek yang menceritakan tentang beberapa kondisi yang terjadi di Papua pada tahun 2012 ke bawah tentunya (sebab film ini rilis pada tahun 2012).
Engage Media is a non-profit media, technology and culture organisation based in Australia and Indonesia.
Engage Media menggunakan teknologi video, internet dan 'free and open sourch software' untuk merangsang perubahan sosial dan lingkungan. Mereka percaya bahwa media independen dan teknologi gratis yang terbuka adalah dasar kuat untuk membangun pergerakan demi melawan ketidakadilan sosial, sekaligus menyediakan solusi serta pemikiran lebih jauh terhadap isu-isu tersebut. Tujuannya adalah menyediakan akses terhadap cara baru penyebaran video, membuat arsip online untuk karya-karya video yang diproduksi secara independen dengan menggunakan lisensi terbuka dan membuat jaringan yang terdiri dari pembuat video, pendidik dan organisasi-organisasi yang programnya berkaitan dengan screening video atau film independen.
Tema yang diangkat bermacam-macam. Mulai dari isu sosial hingga kisah-kisah masyarakat adat papua mempertahankan adat dan budayanya yang kian hari kian hilang digerus zaman dan keadaan. Engage Media mendokumentasikan permasalahan-permasalahan tersebut dalam film yang rata-rata berdurasi 6 hingga 7 menit.
Diantaranya ialah :
1. Surat Cinta Kepada Sang Prada
Tahun 2008 menjadi momen penting bagi Maria Goretti (Eti). Ia bertemu tambatan hatinya, Samsul, seorang Prajurit TNI yang bertugas di daerah tempat tinggalnya, di perbatas RI dan Papua New Guinea. Malang tak bisa ditolak, ketika Eti tengah berbadan dua, Samsul harus kembali ke kampung halamannya. Tiga tahun berlalu, hingga sang putri kecil tumbuh besar, Samsul tak ada kabar. Selama tiga tahun pula Eti harus hidup dengan cerca dan pandangan orang sekitar yang memandang sebelah mata padanya dan buah hatinya. Sepucuk surat ia layangkan pada pujaan hatinya, untuk kedua kalinya. Ia berharap, kali ini Samsul membaca suratnya. "Eti akan terus tunggu kakak Samsul. Terserah orang mau bicara apa."
2. Papua Calling
Papua beralih rupa seiring dengan semakin banyaknya pendatang, yang membawa beragam perubahan dalam kehidupan warga lokal. Diantaranya jumlah populasi penduduk beragama Islam yang terus meningkat dan memberi warna dalam keberagaman masyarakat Papua. Menjadi minoritas di tanah Timur Indonesia, warga muslim di Papua beranggapan bahwa apa yang menjadi permasalahan di Papua adalah isu bersama. Ustad Fadhal berharap agar tidak melihat permasalahan di Papua hanya milik warga Kristen. Isu yang dihadapi bukanlah persoalan agama melainkan soal kemanusiaan.
3. What Mama Kasmira Wants
Wambes, Arso, menjadi saksi hidup Mama Kasmira. Petani coklat ini harus meninggalkan ladangnya dan bekerja di perkebunan kelapa sawit, ketika para tetua Desa menjual lahannya pada Perusahaan Rajawali Grup. Sebagai perempuan, ia tak punya suara. Suaranya boleh dibungkam, namun tidak dengan harapannya terhadap ketiga buah hatinya, yang menjadi penyemangat saat ia bermandi terik matahari di perkebuanan yang terletak di perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea.
3. What Mama Kasmira Wants
Wambes, Arso, menjadi saksi hidup Mama Kasmira. Petani coklat ini harus meninggalkan ladangnya dan bekerja di perkebunan kelapa sawit, ketika para tetua Desa menjual lahannya pada Perusahaan Rajawali Grup. Sebagai perempuan, ia tak punya suara. Suaranya boleh dibungkam, namun tidak dengan harapannya terhadap ketiga buah hatinya, yang menjadi penyemangat saat ia bermandi terik matahari di perkebuanan yang terletak di perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea.
4. Ironic Survival
Mahuze, dalam bahasa Papua berarti sagu. Nama ini adalah salah satu marga dalam suku Malind, yang sepanjang generasi menjadi penjaga sagu sebagai makanan utama masyarakat Papua. Tetapi kini, makanan utama itu kian tergerus oleh zaman. Bukan karena masuknya pengaruh modernisasi, tetapi berkat terjarahnya lahan sagu yang mereka warisi dari nenek moyang sejak kehadiran Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Program yang sejatinya dibuat untuk meningkatkan ketahanan pangan itu justru merusak pangan lokal. Lahan sagu tergerus, kehidupan Alex Mahuze dan keluarganya terombang ambing. Ia mencoba bertahan hidup, yang ironisnya justru menghancurkan alam, tempat nenek moyang mereka bernaung dan bergantung selama ribuan tahun. Alex kehilangan tanah dan budaya warisan leluhurnya, namun ia terus berjuang.
5. Kelapa Berbuah Jerigen
Kehidupan suku Malind di Merauke dan pohon kelapa ibarat sebuah entitas yang tak bisa dipisahkan. Dari pohon kelapa, lahir famili Geb Wnangga dengan dua belas marga, yang dibagi berdasarkan anatomi kelapa seperti halnya Moyuend yang berarti batang. Hanya, kini kelapa menjadi buah simalakama, disatu sisi, ia menjadi sumber penghidupan, namun ia juga sumber berbagai permasalahan sosial dalam kehidupan masyarakat di Papua. Penyebabnya tak lain karena Sagero, minuman beralkohol yang dibuat dari nira pohon kelap. Kearifan budaya yang dulunya bahkan memberi sangsi bagi siapapun yang mengambil air minum kelapa, kini hilang tak berbekas. Elias Moyuend, tokoh adat Malind, berharap ada sanksi yang keras akan penggunaan kelapa. Bukan hanya hukum pemerintah, tetapi juga diterapkannya hukum adat agar budaya asli mereka tak pupus.
6. Harapan Anak Cendrawasih
Pendidikan dianggap sebagai rantai pemutus lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi di sudut Papua, tepatnya di Arso - perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea - idealisme ini terasa jauh panggang dari api. Setitik asa yang digantungkan anak-anak cendrawasih ini berhadapan dengan sistem yang karut marut. Guru jarang datang, anak-anak terbengkalai. Kadang guru datang siang, tetapi lantas menyuruh murid pulang. Untuk mengisi waktu, anak-anak bekerja di perusahaan kelapa sawit untuk mendapatkan upah. Namun, para murid tetap memiliki cita-cita tinggi yang menanti untuk diwujudkan.
7. Yang Tersisa, Yang Melawan
Dominikus Mesas, tinggal di Distrik Keerom, dekat dengan perbatasan Provinsi Papua dan Negara Papua New Guinea. Sementara para penduduk lokal Keerom lainnya sibuk menjual tanah mereka ke perusahaan-perusahaan kelapa sawit, ia bersikukuh untuk mempertahankan tanahnya dan mengajak rekan-rekannya untuk melakukan hal yang sama.
8. Pemburu Terakhir
Di tahun 1990, Taman Nasional Wasur di Merauke dibuka untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna, serta memberdayakan penduduk lokal. Namun, di tahun 2012, hanya segelintir binatang yang tersisa di wilayah Konservasi ini. Leo Wambitman, pemburu yang tinggal di kampung Yanggandur pun mulai meninggalkan busur dan panahnya untuk memotong dan menjual kayu-kayu balok.
9. Awin Meke
"Kita itu kecewa di atas kecewa," demikian curahan hati seorang Mama di Papua. Permintaan mereka sederhana : tempat layak untuk berjualan. Perjuangan sejak tahun 2002 ini pun kerap kali berhadapan dengan tembok tebal dan lagi-lagi pepesan kosong. Hingga kini, terik matahari tetap menjadi teman setia saat berjualan. Hasil kebun yang menjadi barang dagangan sering kembali dibawa pulang karena tak laku. Sementara mereka harus bersaing dengan orang-orang dari luar Papua yang justru mendapat kesempatan lebih besar dari Pemerintah untuk berjualan. Tak adakah pintu yang terbuka bagi Mama-mama Papua ?
Program Papuan Voice, atau Suara dari Papua, telah berhasil membatasi hambatan politis, geografis dan keuangan - serta minimnya teknologi - untuk membawa cerita-cerita dari Papua kepada dunia. Cerita-cerita menyoroti perjuangan terhadap ketidakadilan yang secara rutin terjadi dibalik pintu tertutup dari Provinsi yang kaya Sumber Daya Alam ini.
Komentar
Posting Komentar