Benarkah Hanya Salah Jurusan ?
Kisaran bulan April, Mei hingga Agustus
adalah bulan-bulan dimana kini di Indonesia menjadi bulan-bulan yang cukup
penting bagi adik-adik kita yang baru saja menyelesaikan sekolahnya pada
sekolah menengah atas. Pada kisaran bulan ini, adik-adik kita disibukkan dengan
berbagai macam tes yang dilakukan untuk memasuki perguruan tinggi yang
diinginkan. Mungkin kita tidak perlu membicarakan berbagai macam tes yang
dilakukan adik-adik kita untuk mengikuti tes pada perguruan tinggi swasta. Pada
tulisan kali ini saya hanya akan menggunakan Seleksi Bersama Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SBMTN) sebagai contoh. Menurut pernyataan dari Sekretaris Pusat
SBMPTN, Waskito, jumlah peserta SBMPTN pada tahun 2017 sebanyak 797.738 orang.
Setidaknya hampir 800 anak muda di Indonesia yang berniat melanjutkan studinya
di perguruan tinggi, sekali lagi jumlah tersebut hanya dilihat dari seleksi
masuk perguruan tinggi negeri. Jumlah tersebut tentunya menjadi kabargembira
bagi Indonesia sebab hal itu menunjukkan semakin banyak pula masyarakat
Indonesia yang sadar akan pendidikan.
Persoalan klasik kini muncul saat adik-adik
kita tersebut telah berhasil masuk pada salah satu kampus di perguruan tinggi
tempat dimana sebelumnya ia mendaftarkan diri. Yak, fenomena salah jurusan
selalu menjadi cerita lama mahasiswa baru yang lulus tes masuk perguruan tinggi
tetapi tidak sesuai dengan minat dan ketertarikan pada saat pertama kali ia
mendaftarkan diri. Faktor penyebabnya bermacam-macam. Ada yang memang memilih
jurusan kuliah dengan tidak mencari tahu terlebih dahulu tentang jurusan yang
diambilnya atau dalam artian lain asal pilih jurusan. Ada juga yang ternyata
lulus di jurusan yang tidak begitu ia minati, dalam artian lain lulus pada
jurusan cadangan dalam pilihan jurusan saat pendaftaran masuk perguruan tinggi
dan tentunya ada banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Beruntungnya adalah ketika salah jurusan ini
hanya berlangsung pada semester-semester awal, itu berarti mahasiswa salah
jurusan tersebut mampu menyesuaikan diri dengan cepat dan berhasil menemukan
passionnya pada bidang itu. Namun celakanya adalah, salah jurusan yang
berkepanjangan. Dari semster genap ke semester ganjil hingga sampai pada masa
akhir perkuliahan, sang mahasiswa salah jurusan tak kunjung menemukan titik
terang. Maka yang terjadi adalah terciptanya sarjana-sarjana muda yang bingung
dan tidak tahu ingin kemana dan ingin menjadi apa. Tapi, benarkah hal yang
demikian hanya karena kita salah jurusan ? Tidakkah ada yang salah dengan
pendidikan kita ?
Ketika mahasiswa kesehatan lebih memilih
bekerja di bank, ketika mahasiswa hukum tidak percaya diri menjadi pengacara,
ketika mahasiswa FKIP lebih memilih tidak menjadi guru, ketika mahasiwa
pertanian enggan menjadi petani, dan ketika mahasiswa kehutanan bingung ingin
kerja di mana. Pada intinya saya hanya ingin menyatakan bahwa begitu banyak
mahasiwa-mahasiswa yang pada saat ia telah menyelesaikan studinya kemudian
tidak bekerja atau memilih profesi yang sesuai dengan yang telah ia pelajari
selama bertahun-tahun di kampus tercinta.Bukankah hal itu lebih dari sekedar
salah jurusan ?
Baiklah, barangkali saya memang tidak
mempunyai data valid terkait hal ini, ini hanya asumsi dan analisa pribadi saya
yang berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang belakangan ini melanda saya dan
beberapa teman saya. Ketika saya yang akan menjadi sarjana hukum namun tidak
pernah diajarkan untuk bangga menjadi Hakim, untuk berani dan optimis menjadi
pengacara, untuk kemudian berlomba-lomba menjadi seorang jaksa. Saya tidak diajarkan
tentang betapa elegant nya berprofesi sebagai seorang notaris dan betapa
bangganya menjadi seorang diplomat. Hal-hal tersebutlah yang ingin saya
sampaikan. Tidakkah sistem pendidikan kita (khususnya di Kalbar, karena saya
tidak tau kondisi teman-teman yang berada di luar Kalbar) tidak memberikan kita
rasa percaya diri kepada apa yang telah kita pilih sebelumnya untuk kemudian
melanjutkannya dalam dunia nyata di masyarakat ?
Menurut saya akan lebih baik jika dosen-dosen
di kampus menanamkan betapa hebatnya berprofesi sebagai seorang hakim, di
tengah-tengah kondisi Hukum di Indonesia sedang terpuruknya dan citra hakim yang
kini sedang buruk-buruknya. Alangkah lebih bangganya jika dosen memberikan
kepercayaan diri kepada mahasiswa pertanian untuk berlomba-lomba menjadi petani
di Negeri yang katanya agraris ini, disaat orang-orang lain berlomba menjadi
PNS. Alangkah lebih eloknya jika dosen-dosen FKIP membangkitkan kembali semangat
para calon guru-guru muda untuk mengabdi pada pendidikan bangsa ini disaat begitu
banyak orang tidak ingin lagi menjadi guru. Barangkali dengan demikian, tidak
kita temukan lagi sarjana-sarjana muda Indonesia yang bingung igin menjadi apa
dan bekerja di mana.
Jumlah lulusan FKIP di Kalbar setiap tahunnya
selalu meningkat, tapi Kalbar selalu mengeluh kekurangan guru. Pun dengan
lulusan Fakultas Pertanian, nyatanya semakin banyak lahan sawah dan ladang yang
dijual kepada perusahaan karena menjadi petani kian hari kian tidak sejahtera.
Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan untuk kita, orang-orang
terpelajar di Negeri ini. Karena Pendidikan sejatinya tidak akan ada gunanya
jika tidak sebagai alat untuk mensejahterakan seluruh umat manusia.
Komentar
Posting Komentar