Ulasan Buku Entrok - Okky Madasari
Sumarni (Marni) adalah seorang perempuan desa yang lahir pada zaman perang, saat orang-orang masih berbaju goni dan berburu tikus sawah untuk digoreng. Marni tinggal berdua dengan ibunya yang bekerja mengupas singkong di pasar. Mulanya Marni tidak pernah ikut ibunya ke pasar. Ketika Marni sudah remaja dan buah dadanya mulai besar, ia diperkenalkan dengan entrok(BH) oleh sepupunya. Entrok dapat membuat buah dadanya yang semakin besar menjadi kencang dan tidak klewer-klewer. Namun pada masa itu entrok adalah barang langka yang cukup mahal, tidak bayak perempuan yang memakainya. Berbekal motivasi ingin memiliki entrok itulah Marni ikut bekerja bersama ibunya di pasar. Namun bekerja mengupas singkong di pasar ternyata tidak pernah menghasilkan uang, para buruh perempuan tidak pernah dibayar dengan uang, upah hasil bekerja mereka adalah bahan makanan. Yang bekerja dengan upah uang hanya laki-laki. Karena sangat ingin memiliki entrok Marni nekat menjadi kuli angkut perempuan pertama di pasar itu, dengan menjadi kuli ia bisa mendapatkan uang untuk membeli entrok. Sejak saat itulah Marni tumbuh menjadi perempuan yang rajin, tekun serta pandai mengelola dagangan. Uang hasil nguli ia jadikan modal untuk bakulan, mulai dari sayur, barang, sampai uang.
Marni mengubah nasibnya menjadi juragan yang cukup terkenal di Desa itu, meskipun demikian ia tetaplah Marni perempuan jawa yang buta huruf dan masih percaya pada leluhur. Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, begitu ia menyebut Tuhannya. Ia tidak pernah luput berdo’a tengah malam di bawah pohon asem serta mengadakan selamatan saat bertambah usia dan mengantar sesajen kepada leluhurnya. Oleh karena kepercayaan nya itulah Marni sering menjadi buah bibir masyarakat. Marni dituduh memeihara tuyul, punya pesugihan, sampai dikatakan lintah darat yang menyekik leher rakyat kecil. Namun dibalik itu semua, orang-orang Desa itu tetap membutuhkan Marni untuk meminjam uang. Tak hanya itu, perangkat negara mulai dari RT, lurah sampai tentara pun memanfaatkan kekayaan Marni. Mulai dari meminta uang keamanan sampai sumbangan pemilu yang tida masuk akal.
Marni mempunyai seorang anak bernama Rahayu buah cintanya dari Teja, suaminya yang senang main perempuan. Rahayu adalah generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan kemudahan hidup. Pemeluk agam Tuhan yang taat. Ia bahkan membenci ibu kandungnya sendiri yang dianggapnya penuh dosa dan sirik. Sejak itulah ia seperti bermusuhan dengan ibunya. Ibunya yang menjunjung tinggi leluhurnya sendiri. Ibunya yang sejak kecil kenal Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.
“Dia bilang aku ini dosa. Dia bilang aku ini sirik. Dia bilang aku penyembah leluhur. Lho.. wong aku sejak kecil diajari orangtuaku nyembah leluhur kok tidak boleh... Dia bilang Gusti Allah yang boleh disembah. Lha iya, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana mau nyuwun kalo kenal saja belum.”
Sementara itu, di tengah perbedaan pemikiran dan menjalani hidup masing-masing, keduanya melawan satu hal yang sama. Yaitu penindasan yang diakukan oleh orang-orang bersenjata dan berkuasa. Lalu pada titik singgung kehidupan manakah keduanya akan bertemu dan menjadi anak-ibu selayaknya ?
Buku Entrok karya Okky Madasari ini benar-benar dalam akan makna, pilu, sangat menyentuh tapi juga kaya akan realita. Bagaimana sejarah kelam bangsa ini telah menghakimi banyak orang yang bahkan sama sekali tidak bersalah, mengubah hidup mereka menjadi sangat tidak berarti hanya dengan sebuah tuduhan yang mematikan. Bagaimana sebuah kekuasaan besar pernah dengan rakusnya menindas rakyat kecil dengan dalih “keamanan” dan “urusan negara.” Buku ini tidak hanya mengobok-obok batin pembacanya saja tetapi mengingatkan kembali kepada kita bahwa pernah ada suatu zaman di mana kelangsungan hidup orang-orang pada masa itu dikendalikan orang-orang bersenjata dengan dalih keamanan dan urusan negara.
Buku ini disajikan penulis dalam dua sudut pandang. Pertama dari sudut pandang Marni, seorang Ibu yang gigih, berhati baik dan selalu memaafkan anaknya. Kedua dari sudut pandang seorang Rahayu yang meninggalkan ibunya sendiri karena dianggap berdosa. Sebuah kisah pilu keluarga yang benar-benar mengajarkan kembali kepada kita tentang makna perbedaan. Benar-benar sebuah buku yang menyisakan begitu banyak perenungan setelah menutup lembar terakhirnya.
Komentar
Posting Komentar