Belajar dan berbagi
sumber : google |
Tulisan
ini ada tentu karena banyak hal yang berkecamuk di dalam kepala sudah mendesak
untuk keluar. Berbagai permasalahan dari kehidupan bumi manusia ini pastinya
memberi ruang untuk kita selalu merenung dan bertanya pada diri sendiri. Ku
pikir setiap manusia akan mengalami hal seperti itu, bedanya barangkali pada
bagaimana kemudian ia mengakomodir semua keresahan-keresahan itu. Untukku
pribadi, cara menyampaikan apa-apa yang terasa berkecamuk di kepala dan
mengganjal di hati adalah dengan menulis. Aku akan merasa sedikit baikan jika
telah menumpahkan keresahanku dalam sebuah tulisan.
Minggu
lalu, satu di antara teman-temanku yang revolusioner (ku sebut demikian, karena
mereka adalah orang-orang yang gelisah dan selalu menginginkan perubahan)
mengumpulkan aku dan beberapa teman lainnya untuk berbicara sebuah keresahan
yang sepertinya akan dialami oleh semua orang yang memasuki usia hidup
seperempat abad. Kegalauan akan penempatan diri di dalam masyarakat.
Sederhananya, kami punya keresahan yang sama yakni merasa belum bisa
berkontribusi apa-apa dengan semua ilmu pengetahuan yang telah kami dapat
selama ini. Maka temanku itu mengajak kami menulis, dimulai dari
tulisan-tulisan sederhana hingga nantinya dapat berpendapat tentang permasalahan-permasalahan
harian yang dilihat dari sudut pandang ilmu yang dulunya kami geluti. Maka aku
akan mulai dengan menceritakan tentang kebiasaan membaca serta kesukaanku pada
buku.
Membaca
buku sebenarnya bukan sebuah kegemaran yang patut untuk dibanggakan, maksudku
begini; setahun belakangan ini aku mendapatkan pemahaman baru soal buku, bahwa
membaca buku itu seharusnya bukan sebuah aktivitas yang kita lakukan karena
kesukaan kita. Misalnya karena kita menyenangi sastra dan cerita kita lantas
membaca buku, atau bahkan hanya karena kita senang dengan bau kertas dari buku
yang baru dibeli. Mungkin pada mulanya memang berawal dari kesukaan dan
kecintaan tapi pada akhirnya kita memang harus sadar bahawa membaca buku itu adalah
sebuah kewajiban, terlepas dari suka atau tidak sukanya kita pada buku.
Sayangnya
itu adalah hal yang sulit sekali untuk dijelaskan, ditanamkan apalagi
dibudayakan. Orang-orang kita masih menganggap bahwa membaca buku adalah
kegiatan yang berat, membosankan, dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang
pintar (sebut saja begitu).
Sejak
kuliah, aku punya kebiasaan membawa buku bacaanku ke mana-mana, ke kampus dan
ke ruang-ruang publik lainnya. Alasannya adalah buku itu bisa ku baca sembari
menunggu dosen yang malas mengajar, menunggu antrian, atau hal-hal lainnya yang
seringkali bikin kita lelah dan waktu terbuang sia-sia. Kebiasaan itu
mendatangkan respon positif dan negatif. Postifnya, ada beberapa orang temanku
yang kemudian tertarik membaca buku dan meminjam buku padaku (aku senang kalau
ada teman yang mau pinjam buku, itu artinya dia mulai tertarik mau membaca).
Negatifnya, ada beberapa teman yang guyonannya sedikit menggangguku. Aku
seringkali merasa teman-temanku mengejekku dengan gurauan-gurauan mereka yang
kurasa bukan sebuah pujian tetapi sebaliknya, aku merasa mereka menganggapku
sok-sokan, sok pamer, sok pintar, dan sok-sok lainnya. Susah untukku
menggambarkan gimana tidak enaknya guyonan-guyonan itu.
Menurutku
itu sesuatu yang sangat miris, di saat teman-teman kita di Eropa, Korea dan
belahan dunia lain sarapan bersama buku, menyadari pentingnya membaca kita
malah masih mempertahankan kebodohan kita dengan mengejek dan merisak (bully)
orang-orang yang punya kebiasaan (baik) berbeda dari kita. Tidak usahlah
berbicara tentang angka-angka dalam penelitian kuantitatif perihal minat baca
di seluruh dunia. Cukup kita lihat saja bagaimana reaksi masyarakat kita akan
informasi hoaks atau terlalu mudahnya kita dipecahkan oleh isu-isu SARA juga
terlalu mudahnya trend-trend di dunia maya meracuni anak-anak muda.
Aku
mungkin bukan orang yang sudah membaca banyak buku, bacaanku masih
sangat-sangat kurang, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Tetapi aku berani
mengatakan bahwa banyak kebiasaan buruk dalam hidupku telah berubah karena aku
membaca. Kenapa kita penting membaca ? Karena kita akan terus belajar dalam
hidup. Pangkal dari membaca adalah belajar. Orang-orang yang mau belajar adalah
orang-orang yang sadar dan selalu menginginkan perbaikan dalam hidupnya.
Bayangkan bila Kartini tidak tumbuh dalam keluarga yang menyadari akan
pentingnya belajar, mungkin kita tidak akan bisa membaca semua buah pikir dan
kegelisahannya yang ternyata berhasil mendobrak semangat perubahan pada kaumnya
hingga saat ini. Dan belajar yang paling mudah adalah membaca. Sebuah tulisan,
apapun itu, adalah hasil dari buah pikiran dan pergelutan batin yang dirasakan
oleh penulisnya. Baik itu tulisan tentang sebuah pemahaman yang kemudian diakui
oleh banyak orang di dunia sampai dengan tulisan curhatan yang diunggah
seseorang di blog pribadi atau catatan harian. Kita bisa belajar dari itu
semua, bukankah katanya pengalaman adalah guru yang paling baik ? Nah salah
satu belajar dari pengalaman yang paling baik juga belajar dari pengalaman
orang lain (dan tentu juga dari pengalaman sendiri).
Kemudian
setelah membaca tentu kita harus membaginya. Pemahaman, pengalaman serta pengetahuan
yang didapat dari sebuah bacaan tidak akan berkembang jika hanya mengendap di
dasar pikiran dan tidak dibagi. Aku sangat menyangkal jika teman-temanku
mengatakan bahwa aku hanya membaca sendiri dan tidak membagi apa yang ku baca. Tahun
2015-2016 aku selalu mengulas buku yang sudah kubaca di akun instagramku
terkadang juga di blog ini. Menurutku itu adalah cara berbagi yang paling mudah
selain membicarakannya dengan orang-orang terdekat. Dan yang paling penting dari semuanya adalah
mengaplikasikan pemahaman-pemahaman yang didapat dari bacaan dalam kehidupan
sehari-hari. Ini bukan hanya sekadar formalitas dari tulisan ini, terus terang
aku belajar banyak hal dari buku-buku yang aku baca. Aku belajar dan berusaha
untuk berani dari tokoh Zarah dalam novel Supernova Partikelnya Dee Lestari,
aku belajar bagaimana seharusnya menjadi seorang perempuan dari Nyai Ontosoroh
dalam Tetralogi Pulau Burunya Pramoedya, aku belajar mengerti banyak hal di
dunia ini dari buku-buku non fiksi yang ku baca, dan masih banyak hal lagi yang
bisa kita dapatkan dari sebuah buku.
Oleh
sebab itulah aku sangat bersyukur sejak kecil sudah menyukai cerita, dan saat
aku tumbuh dewasa Tuhan telah mendekatkanku dengan orang-orang yang juga
mencintai buku. Buku menjadi candu buatku, mungkin juga pelarian dari banyak
hal dalam hidupku. Ketika aku bahagia tidak akan lengkap jika tanpa membaca
buku, ketika aku mulai merasa terlena dan tidak waras aku akan mencari-cari
buku dan ketika aku mulai merasa hanya remahan rengginang di dasar toples aku
akan bertekad membaca lebih banyak buku.
Sungguh
teman-teman, aku ingin sekali kita bisa membicarakan hal yang sama. Kalau kalian
tertarik untuk mulai membaca silakan hubungi aku kapan saja, aku akan sangat
senang dengan hal itu. Karena sejauh ini berkenalan dan berteman dengan seseorang
karena buku selalu jadi hal yang manis dan menyenangkan. Ayolah, buku-buku di
rumahku memang tidak banyak, tapi mereka akan sangat senang kalau kalian mau
menjamahnya (tentu dengan syarat harus memperlakukan bukunya dengan baik). Aku
akan selalu menunggu persahabatan manis kita yang terjadi karena sebuah buku J.
Komentar
Posting Komentar