DUNIA YANG BERBEDA
Pernahkah
kau merasa seakan sudah lama mengenal seseorang padahal itu adalah perjumpaanmu
yang pertama kalinya ?
Malam
itu ketika telapak tangan kami bersentuhan, aku merasakan getaran yang tidak
biasa. Ia tidak hanya memiliki aura yang positif tetapi juga menyimpan energi yang
kuat, yang terus menarikku untuk masuk ke dalam dunianya. Seperti menemukan
sebuah pulau kosong yang di dalamnya segala kebaikan dan keindahan hidup
tersedia, seperti itulah aku menemukan dia di dalam duniaku. Sejak malam itu
duniaku tidak pernah sama lagi, ada seseorang yang tertidur lelap di dalam
kepalaku dan tidak mau bangun!
Lelaki
berkacamata itu rupanya sudah cukup lama memperhatikan gerak-gerikku. Malam itu
ia menunggu waktu yang tepat untuk bisa mengusikku yang sedang tersesat di
dunia lain. Alasan terbesarnya mengintaiku tidak lain adalah buku yang kubaca –
Anak-anak Revolusi karya Budiman Soedjatmiko, buku itulah medium perkenalan
kami.
Aku
menyambutnya dengan tatapan terkejut, seperti baru saja dilemparkan dari dunia antah
berantah menuju dunia yang lain. Dunia yang tiba-tiba saja berbeda dari sekian
detik sebelumnya. Ada perasaan akrab yang tiba-tiba melekat ketika ia memperkenalkan
dirinya dengan senyum yang tidak dibuat-buat.
“Aku
Miko, angkatan 2014. Bisakah kita bicara sebentar ?”
Rasanya
aku belum bisa menapak bumi, wajah ini begitu asing tapi tidak dengan perasaan
yang merambat begitu cepat di dasar hati.
“Halo,
kak Miko aku Anin. Mahasiswa baru.”
“Baiklah
Anin, aku tertarik dengan buku yang kamu baca. Kita harus cari tempat yang
lebih nyaman untuk bicara.”
Tanpa
berbasa-basi ia mengajakku untuk bicara di tempat yang lebih layak. Kami pindah
menuju kantin di belakang mushola kampus dan mulai membicarakan banyak hal, mulai
dari buku Anak-anak Revolusi, dunia kampus sampai pada pandangan politik
masing-masing. Ia terkejut ketika mengetahui kalau aku adalah mahasiswa baru
yang kabur dari PMB dan rela menggembel di beranda kampus seperti tadi demi
menunggui dosen-dosen yang malas mengajar. Katanya, mahasiswa baru sepertiku belum
seharusnya kuliah malam hanya untuk mengejar absensi. Aku justru terkejut ketika
mengetahui bahwa mahasiswa non reguler sepertinya memiliki pergerakan yang
cukup progresif di luar kampus. Karena kata kak Fany kelas non reguler itu
umumnya diisi oleh para pekerja dan orang-orang yang mengiginkan perkuliahan
yang lebih santai. Oleh sebab itu mereka seringkali dianggap apatis dan tidak
cukup peduli pada isu-isu kampus. Mahasiswa reguler dianggap lebih aktif dan
punya kontribusi karena merekalah yang memegang kendali organisasi-organisasi
di kampus dan terlibat langsung di dalam sistem. Ketika aku bertanya soal
alasannya lebih memilih kelas non reguler, ia malah tertawa sinis. Katanya, sejak
awal ia memang tidak ingin terlibat dalam sistem ospek kampus yang terkenal
keras dan penuh pembodohan. Ia mengaku tidak pernah ingin berlama-lama di
kampus yang payah ini.
“Aku
lebih senang turun langsung ke lapangan atau sekadar berdiskusi di warung kopi.
Menurutku itu jauh lebih bermanfaat ketimbang terus meracuni junior dengan
doktrin-doktrin ilusi, seperti yang dilakukan teman-teman satu angkatanku lewat
organisasinya,”
“Dulu
aku sempat naif dan berpikiran kalau ingin mengubah sistem maka aku harus masuk
ke dalamnya. Tapi belakangan aku sadar, itu tidak akan menghasilkan apa-apa
kecuali akal sehat kita yang ikut terperangkap di dalamnya,” sambil berkata
demikian ia menatapku dengan senyum sinis, mungkin ingin minta persetujuanku
soal pendapatnya, entahlah yang jelas aku melihat kepuasan terpancar dari
wajahnya. Ada tumpukan kegelisahan yang sepertinya baru saja ia keluarkan.
Senior
yang satu ini benar-benar berbeda. Jika kebanyakan senior seringkali menyimpan
motif-motif tertentu ketika membangun relasi dengan junior, maka ia lebih
terlihat seperti seseorang yang mencari teman bicara. Malam itu aku merasakan
percakapan yang setara dan apa adanya. Cerita-cerita yang ia sampaikan tidak
menggurui, pandangannya bukan dogma yang
pelan-pelan coba ia sisipkan di kepalaku, tapi lebih terdengar sebagai
kata-kata yang mencari teman karena sudah terlalu lama berjalan sendirian.
Cerita-cerita yang ia sampaikan tidak menggurui, pandangannya bukan dogma yang pelan-pelan coba ia sisipkan di kepalaku, tapi lebih terdengar sebagai kata-kata yang mencari teman karena sudah terlalu lama berjalan sendirian.
Aku
menduga orang-orang sepertinya adalah orang yang akrab dengan rasa sepi. Orang
yang kuat dengan pendiriannya dan seringkali terasingkan karena memiliki
pandangan yang berbeda dari otoritas kebanyakan. Aku menyenangi orang-orang
sepertinya, orang-orang yang jujur dan hangat. Orang-orang yang kenal betul
dengan dirinya sendiri.
Bertemu
dengannya membuat dopaminku tumpah ruah, seperti menemukan air di tengah
gersangnya padang pasir rasa ingin tahuku. Seperti menemukan teman satu perjalanan
di tengah pengembaraan yang terlalu melelahkan. Malam itu kami habis-habisan
mengutuk sistem kampus yang bobrok tanpa lagi mengingat waktu. Untuk pertama
kalinya selama 17 tahun hidupku, aku berbicara dengan seseorang yang baru
kukenal selama kurang lebih tiga jam, tanpa jeda.
Kini,
hari-hariku berubah. Aku menemukan alasan lain untuk datang ke kampus. Jika
minggu kemarin aku tak henti mengutuk dosen yang malas mengajar dan sibuk
dengan berbagai macam proyek di luar sana, maka minggu ini aku menitip do’a
pada semesta; agar dosen itu kebanjiran proyek dan berhalangan hadir. Ketimbang
mendengar ceramah atau menyalin materi yang diidkte oleh dosen-dosen yang
terlalu kaku itu, aku seratus kali lebih ingin untuk membicarakan apa saja
bersama senior itu.
Komentar
Posting Komentar