MANIPULASI HARI
Jika ada orang yang begitu lancang
hadir dalam hidupmu dan pelan-pelan mulai mengendalikan hari-harimu, maka ia
layak kau setarakan dengan dewa. Adakah seseorang seperti itu dalam hidupmu ?
Malam
ini semesta menjawab do’aku. Untuk kesekian kalinya dosen itu tidak hadir. Aku
senang tapi juga mulai merasa gelisah sebab sampai saat ini senior itu belum
juga tampak di hadapanku. Aku mulai bertanya-tanya. Ke mana dia pergi ? Apa dia
tidak masuk ? Kapan dia akan datang ? Tiba-tiba saja segala hal tentangnya
menjadi begitu penting. Diam-diam dia mulai mengendalikan emosiku dan secara
tidak langsung juga mulai mendikte hari-hariku. Aku paham betul kalau ini semua
adalah harga yang harus kubayar atas dopamin yang melimpah ruah saat kali
pertama kami berjumpa. Tapi aku tidak menyangka efeknya akan sedahsyat ini.
Bagaimana mungkin ia yang tadinya bukan siapa-siapa kini dalam hitungan minggu
sudah menjelma candu dalam hidupku?
“Kau seperti dewa kau buat hidup
ini berwarna,” suara khas Tjokorda Bagus Nosstress
tidak hanya mengalun di pendengaranku tapi juga melayang-layang di dalam
kepalaku. Entah kenapa aku seringkali merasa diejek oleh sebuah lagu. Setelah
kata-kata ajaib Ari Lesmana menjelma mantra buruk pada hari pertama ospekku,
kini lirik lagu dari grup band progresif asal pulau dewata ini pun turut
berpartisipasi dalam menjungkirbalikkan perasaanku.
Apa
secepat ini aku kalah oleh sebuah superioritas paling menyebalkan bernama rasa
?
Dalam
riuh isi kepala yang terus memberontak dan perasaan yang semakin tak karuan,
seseorang menepuk pelan pundakku dari belakang. Tiba-tiba saja seperti ada
sesuatu yang menari-nari di dalam perutku. Hitungan detik berikutnya emosiku
berubah drastis dan semua terjadi begitu saja.
“Nin,
aku bawa sesuatu,” lelaki berkacamata itu tampak baru saja berkejaran dengan
waktu. Dengan tidak sabaran ia mengeluarkan sesuatu dari dalam totebagnya.
Aku
sempat mengernyitkan dahi ketika ia menunjuk sebuah kolom pada koran harian
terbesar di kota kami.
“Itu
tulisanku,” pamernya dengan mata yang berbinar.
Tentu
saja aku ikut tersenyum dan menanggapinya dengan antusias.
“Wah,
kak Miko benar-benar keren! Ini tulisan tentang apa ?”
“Kritik.
Apalagi ? Akhir-akhir ini aku sangat gerah dengan kondisi kampus yang makin
hari makin mirip pabrik ini,” sambil mendengarkan keluhannya, aku mulai membaca
tulisan itu.
“Kalau
kamu cermati, apa ada mahasiswa yang berani angkat bicara soal itu ?” tanyanya
padaku tanpa peduli aku sedang mencoba berkonsentrasi dengan tulisan yang
kubaca.
“Apa
yang dilakukan teman-teman kita yang berada dalam sistem itu ? Mereka malah
senang menggelar acara seremonial yang isinya hanya basa-basi omong kosong. Apa
yang sebenarnya mereka perjuangkan ?”
“Bahkan
sekadar mengeluhpun itu jauh lebih baik ketimbang merasa aman di tengah kondisi
yang
sebenarnya tidak sedang baik-baik saja seperti sekarang,” ia mulai berbicara
tanpa jeda.
Setelah
itu aku tak bisa lagi berkonsentrasi membaca. Ia memuntahkan semua
kegelisahaanya dan aku tentu saja akan menjadi pendengar setianya bahkan tanpa
diminta sekalipun.
Ia
sangat kesal dengan sikap yang dipilih oleh teman-teman BEM Universitas yang
abai pada isu-isu penting kampus dan terlena dengan berbagai macam kegiatan
yang sifatnya hanya seremonial. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari orang-orang
yang seharusnya bersikap lebih kritis dan menjadi pembuka jalan bagi
orang-orang yang tertidur lelap lainnya itu. Terlebih sistem yang diterapkan
oleh kampus makin ke sini makin memaksa mahasiswa untuk abai pada hal-hal di
sekelilingnya. Mahasiswa hanya dituntut untuk sesegera mungkin menyelesaikan
perkuliahan tanpa benar-benar mengerti kedudukan dan perannya di dalam
masyarakat nanti.
Menatapnya
yang sedang meluap-luap begitu membuatku merasa damai. Ada ruang kosong yang
pelan-pelan mulai ia isi. Ada bagian rumpang dalam diriku yang kini mulai
terasa genap oleh hadirnya, oleh segala hal yang berbeda dalam dirinya.
Tiba-tiba saja keberadaannya menghadirkan mimpi-mimpi baru dalam hidupku. Membuatku
ingin melakukan banyak hal baik di dunia ini. Mungkin saat ini akan begitu naif
jika aku berkata bahwa ia adalah alasan dari semua hal baik dalam hidupku, tapi
satu hal yang bisa kupastikan ada banyak rencana besar dalam hidupku yang
mulai melibatkan dia.
Dalam
kata-katanya yang semakin mengalir, aku melihat ia mulai mencari-cari mataku.
Sepertinya ia mulai menyadari jika lawan bicaranya sedang tersesat di dunia
lain dan tidak mendengarkan sepenuhnya. Ia mengambil jeda dengan menenggak air
mineral yang tadi dibawanya. Sementara aku merasa bersalah karena tertangkap
basah tidak mendengarkannya. Untuk menebus rasa bersalahku, aku mentraktirnya
makan nasi goreng di depan gerbang kampus yang terkenal nikmat itu. Dia
menyetujui ideku dan kami pun melanjutkan pembicaraan sembari menikmati nasi
goreng di pinggiran jalan. Senior itu bercerita soal aktivitasnya mengajar
anak-anak yang kurang beruntung dan tidak mempunyai kesempatan duduk di bangku
sekolah. Sebuah gerakan kecil yang sudah ia lakukan sejak setahun yang lalu
bersama teman-temannya.
“Teruslah
bekerja, jangan berharap pada negara,” katanya padaku seolah menegaskan alasan
di balik pergerakannya. Aku menanggapinya dengan apresiasi yang tinggi, kukatakan
padanya seharusnya ada lebih banyak orang yang berpikiran dan berbuat seperti
dia di dunia yang penuh dengan beragam hal yang musti diperbaiki ini. Ia
menanggapi apresiasiku dengan berkata bahwa itulah hal yang seharusnya
dilakukan oleh semua manusia. Seperti yang dikatakan oleh Multatuli “tugas
manusia adalah menjadi manusia.” Aku hanya tersenyum sebagai isyarat
membenarkan pendapatnya. Lalu, hari minggu sore dia mengajakku untuk menemui
teman-teman kecilnya di tepian sungai itu. Tentu saja aku bersedia !
Ada
perasaan bangga yang diam-diam aku sembunyikan di dasar hati. Bagaimana mungkin
aku akan melewatkan manusia seperti dia ?
Komentar
Posting Komentar