Pertemuan Banyak Simpul
50 Perempuan Pekerja Seni seluruh Indonesia berkumpul untuk saling menguatkan. |
(Semacam ulasan dan refleksi kegiatan untuk mengabadikan semangat baik
Peretas Berkumpul 01)
Satu hari sebelum konfirmasi
terakhir keberangkatan peserta Peretas Berkumpul 01 aku sempat ragu dan dilema.
Aku sangat senang karena mendapatkan kesempatan yang luar biasa dan mungkin
tidak akan pernah terulang lagi dalam hidupku. Namun terus terang ada ketakutan
yang menyelinap di dada. Pertama, karena ini adalah pertamakalinya aku pergi ke
luar pulau sendirian (tanpa teman atau keluarga, benar-benar sendiri). Kedua,
ketika mendengar kata Poso ada banyak sekali kemungkinan-kemungkinan buruk yang
terlintas di kepala (aku cukup overthinking).
Untuk mematahkan ketakutan yang kedua dan meyakinkan diri untuk berangkat, sebelum
menghubungi mba Yuri via email aku
sempat mengontak beberapa teman yang berdomisili di Sulawesi untuk memastikan Poso aman dan tidak seperti yang
dikabarkan oleh media. Akhirnya dengan keyakinan yang kuperoleh dari informasi
yang terbatas, aku memutuskan untuk berangkat dan keluar dari zona nyamanku
selama ini. Dan keputusan yang kuambil sangat tepat, karena jika tidak, mungkin
aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena tunduk pada ketakutan yang
berlebihan itu, seumur hidupku.
Aku pergi dengan segala hal yang
repot, sebab menjelang hari keberangkatan aku masih disibukkan dengan urusan
penerbitan novel pertamaku yang semuanya kulakukan sendiri. Mulai dari kontak
dengan penerbit, angkat-angkat kotak, mengantar buku kepada pembeli, sampai
mengurus sendiri acara launching
buku. Aku terbang menuju Makassar dengan perasaan lelah, takut dan jengkel.
Jika mba Naomi dalam video reflektifnya di grup mengeluh soal pesawat, aku juga
demikian. Bahkan sebelum bertemu dengan pesawat ayam, aku terus mengalami hal
yang tidak mengenakkan selama penerbangan menuju hingga sekembali dari Poso.
Mulai dari pesawat yang dibuat serasa bus (yakali ada penumpang yang bawa
keranjang dalam kabin :((( ), urusan administrasi yang kacau, sampai pada
penumpang yang tidak teredukasi (kalau tidak sampai hati bilang norak karena
aku bertemu penumpang yang live facebook
menjelang take off dan landing :))) ). Ya begitulah, pokoknya
di dalam pesawat itu aku cukup stress dan tidak menikmati perjalanan, tapi
hikmahnya aku jadi punya analisa sendiri kenapa pesawat singa sering memberi
kabar buruk.
Sesampai di Poso aku dapat
sedikit menarik napas lega, aku menikmati perjalanan menggunakan mobil meskipun
saat itu dilanda kantuk yang luar biasa. Ketika pertama kali menginjakkan kaki
di Dodoha Mosintuwu dan menyelupkannya ke Danau purba ada perasaan bersyukur
yang luar biasa. Lalu bersama angin yang menerbangkan rambutku lembut, pelan-pelan
ada melodi yang terngiang sama lembutnya. “Is
this the place that I’ve dreaming of ?” penggalan lirik lagu milik Keane
yang bisanya hanya bisa kunyanyikan bersama gitar di depan rumah, kini
benar-benar membawaku pada satu tempat yang aku impi-impikan. FYI teman-teman,
aku punya mimpi membangun rumah di tepi danau atau di bawah bukit dan 5 hari
berada di Dodoha membuatku menyicipi mimpi itu terlebih dahulu sebelum
benar-benar mewujudkannya.
Mengisi energi di Danau Poso yang asri |
Hal pertama kurasakan ketika
seluruh peserta Peretas Berkumpul 01 berada dalam satu forum adalah
“keberagaman”. Aku bahkan sempat mengutarakan ini pada teman-teman, “aku
melihat seperti inilah seharusnya Indonesia”. Mungkin ini adalah hal biasa yang
sudah kalian temui sehari-hari, tetapi bagiku ini sebuah moment yang luar
biasa. Momentum di mana aku dapat melihat 50 orang yang berada dalam satu
ruangan benar-benar berwarna. Setiap orang seperti menjadi dirinya sendiri,
dengan gaya berpakaian, aksesoris yang dipakai, serta cara setiap orang
mengekspresikan dirinya sendiri. Percayalah teman-teman, jarang sekali aku
menemukan hal seperti ini, karena di tempatku semua orang berpakaian dengan
cara yang sama dan kalau boleh meminjam pernyaatan Lia (my roomate selama di Tentena) “mungkin beli bajunya juga di tempat
yang sama.” Tidak ada maksud untuk mengomentari penampilan seseorang, hanya
ingin mengungkapkan keunikan pertama yang kudapat ketika berinteraksi dengan
seluruh peserta.
Lalu mengenai keseluruhan
pertemuan sejak hari pertama hingga terakhir, aku akan mengulasnya secara
singkat, dimulai dari metode unconfrence
conference yang dipakai. Bagiku itu seperti mempertemukan banyak simpul
dalam satu ruang yang di mana simpul-simpul tersebut mencari ruangnya sendiri
(lagi). Lagi-lagi ini sesuatu yang baru bagiku, dan saat metode tersebut
bekerja dengan sangat baik di situlah aku menyadari kekuatan dari seluruh
peserta yang hadir. Betapa semua orang yang ada di tempat itu adalah guru,
tidak ada pendapat yang tak layak dengar, semua orang menempatkan dirinya
setara tak peduli seberapa lama waktu dan pengalaman telah membawanya menemui
ruang-ruang yang lebih hebat. Lagi-lagi aku merasa bersyukur dan banyak
mengoreksi diri. Aku ingin menyerap banyak hal tapi energiku terbatas, bahkan
hanya untuk mengobrol dan menyapa seluruh peserta secara personal (hal yang
cukup aku sesali tapi berhasil aku maklumi). Ada banyak sesi yang ingin sekali
kuikuti tetapi harus memilih mana yang lebih kubutuhkan karena jadwalnya
bentrok (seperti sesi kak Hana; sampai sekarang masih kesal karena gak bisa
ikutan, lalu sesi bikin podcast bareng Tria, bikin eco print sama Mba Novi dan Mba Lusi, kelas dongeng dll). Rasanya
semua pengetahuan yang ada di sana kubutuhkan dan terlalu sayang untuk
dilewatkan (karena nggak tau kapan lagi kesempatan seperti ini datang
menghampiriku).
Banyak sekali hal berkesan yang
kurekam tidak hanya dalam catatan-catatan kecil atau voice record namun juga membekas dengan sangat rinci dalam ingatan.
Terutama soal pengalaman-pengalaman yang menginspirasiku. Aku sangat
termotivasi oleh gerakan akar rumput yang dibangun kak Liyan lewat sekolah
perempuan, betapa tersentaknya aku oleh kesadaran bahwa pengetahuan adalah alat
utama perlawanan. Selama ini pernyataan itu tidak pernah benar-benar membuatku
menganggukkan kepala dan benar-benar menyadari kekuatannya. Mendengar cerita
kak Liyan dan ibu-ibu di Poso aku punya keyakinan yang lebih setelah kembali,
dan punya mimpi besar untuk membantu orang-orang di sekitarku mendapatkan akses
tersebut.
Lalu, cerita-cerita soal
pengalaman mendirikan serta mengelola space
benar-benar berarti untukku, karena sejak sebelum berangkat ke Poso hingga
sekarang saat aku menuliskan catatan reflektif ini, keinginan untuk menciptakan
sebuah ruang yang aman dan nyaman untuk berbagi pengetahuan masih memenuhi
kepalaku dan sedang mencari jalan keluar untuk mewujudkannya. Setelah itu, sesi
diskusi mengenai sastra, literasi dan keresahan-keresahan di dalamnya membuatku
merenung dan mempertanyakan kembali banyak hal. Siang itu di tepian Danau Poso
yang asri kami saling mengungkapkan keresahan, berbagi pengalaman dan cerita.
Pertanyaan serta cerita yang terkumpul di sana aku bawa pulang ke kotaku yang
punya permasalahannya sendiri. Terakhir, aku sangat senang bisa ikut kelas soal
etika seni. Sama seperti kelas sastra, sesi ini juga membuatku banyak merenung.
Dan di kelas ini lah aku pertama kali lihat mba Gitta jadi moderator lalu terobsesi
untuk menjadi seorang moderator yang krweeennn sepertinya hihiiii.
Kenapa catatan ini aku tulis
sebagai pertemuan banyak simpul, karena Peretas Berkumpul 01 seperti sebuah magic bagiku. Ada banyak hal yang
menjadi pertanyaanku setahun belakangan ini kemudian menemukan muaranya di
sana. Ada yang langsung bertemu jawaban ada yang mendekati jawaban. Banyak yang
membuatku menyadari sesuatu, namun juga banyak hal yang menambah kegelisahanku.
Barangkali tidak berlebihan jika kukatakan bahwa bertemu dan berkumpul bersama
teman-teman di Dodoha Maret lalu adalah bagian dari perjalanan spiritualku.
Sebuah perjalanan yang turut serta membuatku tumbuh secara spiritual, mental
dan pengetahuan.
Bagian yang terakhir ini adalah
sedikit kecemasan dan hal-hal yang belum sempat diungkapkan. Pengalaman pertama
merasakan gempa, membuatku tidak menikmati hari-hari terakhir di Dodoha. Ingin
segera kembali ke Kalimantan (ternyata sampai Kalimantan gempanya nyusul ikutan
ke sana hiks). Gempa membuat rasa cemas berlipat ganda dan energi yang semestinya
masih bisa dipakai untuk berinteraksi dengan teman-teman jadi teralihkan. Lalu
sampai saat ini aku masih terngiang-ngiang masakan di Dodoha juga minuman
hangat JAMALE (jahe madu lemon) yang cukup membantu menurunkan rasa cemas. Cukup
meneysal juga kerana hanya satu kali mandi di Danau Poso (dan habis itu gempa,
kan ngeri :))) ).
Makanan sehat nan nikmat di Dodoha yang selalu membuat rindu |
Pada akhirnya, lima hari berada
di tempat terbaik bersama orang-orang terbaik telah memberikanku banyak sekali
pelajaran. Mungkin juga akan membuka jalanku bertemu kesempatan dan orang baik
selanjutnya. Setahun belakangan ini bukanlah hal yang mudah bagiku,
tekanan-tekanan kuat terus terjadi dalam hidupku. Aku bahkan sempat meragukan
eksistensi dan keberadaanku sebagai seorang manusia. Seperti segala hal baik
menguap begitu saja dalam hidupku, berganti kesialan dan hal-hal buruk yang
datang terus menerus. Namun, di tengah perjalanan aku justru dipertemukan
dengan banyak perspektif baru, menoreh banyak kekuatan baru. Pada saat itu aku
sadar, kalau semesta menyayangiku, aku tidak terlahir sia-sia. Aku hanya sedang
tumbuh-tumbuhnya, dan Peretas Berkumpul 01 memberikanku banyak energi postif.
Bertemu kalian membuatku lebih menyayangi diri sendiri dan merasa beruntung.
Terimakasih mba Naomi, mba Yuri, mba Dhyta atas ide untuk mempertemukan banyak
perempuan yang (mungkin) saling membutuhkan semua ini. Terimakasih Jubata dan
Semesta karena pertemuan ini aku menyadari hal yang sangat penting dan kini
menjadi pegangan hidupku; bahwa Kuat
saja tidak cukup jika tidak saling menguatkan !
Peluk hangat, Restiana.
Komentar
Posting Komentar