Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena
Hai, tema-teman.
Sudah lama sekali rasanya tidak menyapa kalian dengan tulisan di blog ini. Mungkin belum terlambat untuk mengucapkan selamat tahun baru 2023. Semoga semua harapan dan resolusi kalian di tahun ini dapat terwujud dan sehat-sehat ya. Karena kalau sehat semua rencana bisa kita laksanakan dengan maksimal.
Di beberapa postingan sebelumnya aku sudah cukup sering berkeluh kesah mengenai kesulitanku dalam menulis dan beragam distraksi yang kualami saat hendak menulis. Nah di postingan kali ini, aku memberanikan diri untuk kembali memulai tantangan-tantangan baru. Ya mungkin ga bisa disebut tantangan yang berat juga, karena aku ingin melakukan hal ini dengan rilex dan ringan. Seperti judul yang kalian baca di atas, aku ingin membuat sebuah tulisan layaknya sedang menyapa sahabat pena.
Tulisan-tulisan yang semoga saja konsisten nantinya akan aku rangkum dalam episode Jurnal Harum. Aku yakin beberapa di antara kalian pasti sudah tau darimana inspirasi soal jurnal ini datang. Ya, kalian tidak keliru, salah satu inspirasiku dalam menulis Jurnal Harum adalah Jurnal Akar Wangi yang ditulis oleh hara. Sejak 2021 aku mengikuti Jurnal Akar Wangi dan setiap menerima jurnal tersebut aku merasa seakan disapa oleh sahabat yang jauh di mata namun dekat di hati, layaknya sahabat pena yang mungkin tidak pernah bertemu namun dekat secara spiritual karena rutin berbagi cerita lewat tulisan.
Perasaan yang sama juga kurasakan ketika membaca sebuah cerita perjalanan dengan teknik feature (bercerita), sekalipun itu ditulis dalam bentuk caption postingan instagram. Ada ruang-ruang kosong yang tersentuh dan terisi ketika membaca tulisan-tulisan yang berusaha menyapamu denga tulus lewat kata-katanya.
Mungkin perasaan itu juga hadir karena aku memang menyukai tulisan dan kata-kata ya. Bahkan ketika mendengarkan sebuah lagu, aku akan lebih mudah hanyut dan tersentuh dengan lirik lagu yang dalam sebelum mempertimbangkan lagu tersebut secara musikalnya. Ya mungkin saja itu alasan kuat kenapa aku igin terus menulis dan berusaha keras mencari jalan untuk dapat kembali menulis.
Sebenarnya selain Jurnal Akar Wangi, aku juga terinspirasi oleh sebuah perjalanan yang cukup kontemplatif di penghujung tahun 2022. Sebelum melakukan perjalanan itu, aku sebenarnya sudah yakin dan mempersiapkan diri, lebih tepatnya berharap sih kalau perjalanan di ujung tahun 2022 itu akan jadi proses refleksiku selama setahun. Dan betapa bersyukurnya aku karena dalam perjalanan itu juga dipertemukan dengan orang-orang yang memberikan insprasi. Kebaikan dan kebesaran hati mereka membuatku banyak melihat ke dalam diriku sendiri. Membantuku untuk memeriksa kembali kehidupanku selama ini dan apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup ini.
Tahun 2022 bukan tahun yang mudah bagi banyak orang, beberapa orang terdekatku mengalami banyak kehilangan dan masalah hidup yang pelik serta tidak terduga. Begitu juga denganku, tahun 2022 mengguncangku dengan banyak hal yang sulit aku kendalikan. Guncangan tersebut bahkan membuatku menyalahkan diriku terlalu banyak, membuatku berjarak dengan diri sendiri. Membuat sebagian keberanian dan kemandirian dalam diriku lenyap. Hari-hari yang berat dan penuh dengan ketergantungan pada orang lain pun terulang lagi. Rasa-rasanya begitu sulit untuk memaafkan diri sendiri dan melihat tahun 2022 sebagai tahun yang baik. Namun, perjalananku ke Sugai Utik dan kontemplasi yang kulakukan di perjalanan itu ternyata mampu mengubah perspektifku terhadap segala hal berat yang terjadi di 2022.
Ternyata di tahun 2022 banyak pengalaman berarti juga yang kurasakan. Bertemu dengan orang-orang baik dan membekas di hatiku adalah yang paling aku syukuri pernah terjadi di 2022. Ketika aku coba mengurai begitu banyak berkat yang diberikan semesta kepadaku dan melihat lebih dekat ke sekitar, ternyata aku mampu melihat hidup dengan lebih dewasa. Bahwa kegagalan dan kesalahan bukanlah sesuatu yang harus aku sesali terus menerus. Ada banyak berkat lain yang menyertai kehidupanku hingga saat ini. Aku bersyukur bahkan untuk udara segar dan kenyataan bahwa aku masih terbangun di pagi hari untuk menjalani kehidupan ini.
Seperti kata-kata seorang penulis yang cukup membekas di hatiku, "hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya." Untuk semua kesedihan dan tangisan yang kutunjukkan maupun kusimpan sendiri, untuk semua rasa syukur yang terlihat maupun diam-diam menyatu dalam do'a. Untuk hati yang baik maupun yang tidak sengaja menyakiti, terimakasih.
Penampakan senja di atas tebing yang menghadap Sentarum, mendadak aku ingin jadi penyair saat itu juga. |
“dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya”
Sampai jumpa di #jurnalharum berikutnya 💖
With love, Restiana.
Komentar
Posting Komentar